Selasa, 01 April 2014

Si NUCLEUS XC 77, MTB Serius Pertamaku

Suatu pagi di bulan November 2013, aku meninggalkan rumah kontrakan kecilku, di sebuah gang kecil di jalan poltangan, pasar minggu-jakarta selatan. Tidak ada sedikitpun niatku untuk belanja sebuah sepeda. Agenda jalan2 kali ini belanja pasir untuk Vicky, kucing blasteran persia piaraan anakku, dan pakan untuk dia juga.

Namun siang itu, usai belanja pasir dan pakan kucing, hati ku tergerak untuk mampir ke Pasaraya Grande, daerah Blok M. Karena, beberapa hari sebelumnya aku terlibat obrolan tentang sepeda dengan seorang teman, dan dia beri "racun"  ke otakku tentang info toko sepeda di Mall itu.

Melangkah masuk Mall, langsung saja aku menuju Bike-center yang terletak di lantai 4. Wow, banyak sekali pilihan sepedanya. Selain stand milik Mall, ada Bike-Colony (BC) dan UNITED yang memajang dagangannya. Fokus ku langsung kuarahkan ke produk lokal yang setahuku kualitasnya mumpuni, UNITED. Aku meyakini kulaitasnya karena merk ini juga memegang produksi merk SPECIALIZED -- yang notabene salah satu merk terkenal di dunia -- untuk di Indonesia. Selain pertimbangan budget, aku lebih memilih produk lokal karena aku lebih puas dan bangga menggunakan produk negeri sendiri.

Lihat sana-sini, spesifikasi sepeda yang kutaksir tampaknya masih melampaui budget. Ya sudahlah, mungkin belum waktunya belanja sepeda.

Namun tiba-tiba, di salah satu rak sepeda tertulis DISKON 40%. Hatiku pun goyah. Ada United Dominate 013 dan United Nucleus XC-77. Harga keduanya dibandrol sama, 4,9 juta rupiah. Dan, harga setelah diskon adalah 3 juta rupiah. Hmmm, bisa niiih....

Akhirnya kujatuhkan pilihan pada UNITED NUCLEUS XC-77.

Berhubung tokonya tidak menyediakan jasa pengantaran, dan aku gak punya mobil buat ngangkut, so... langsung first-ride deh dari Pasaraya Grande ke Pasar Minggu.

#AkuCintaProdukIndonesia


UNITED NUCLEUS XC-77
Size : 26 inci
Frame : 16 inci
Shifter : Shimano Alivio
FD : Shimano Alivio
RD : Shimano Deore
Hub : Shimano Deore
Brake System : Tektro Novela - mekanis
Shock : RST Omega 100mm
Speed : 27 speed










Bangun dan Berdiri

Wow... sudah setahun lebih gak kirim postingan di blog ku ini. Kulihat postingan terakhir tercatat Oktober 2012. Hmmm, ane kemana aje ye...?!! hehehee...

Sebenarnya sih gak kemana-mana juga. Masih di Jakarta, dengan mata pencaharian yang sama, di perusahaan yang sama... (loyal apa gagal move-on yak ?!!). Tapi, ada perubahan posisi sehingga sekarang jadi "tahanan kota" alias lebih sering di Jakarta daripada keluyuran lintas-pulau... (jurus ngeles pertama), so...bingung nih apaan yg mo ditulis.... hahahaaa... Dulu mikirnya blog ini dibikin buat cerita jalan2 gitu.... (ngeles lagi).

Sempat kepikir ada bahan buat ditulis... tapi, setiap onlen terjebak rayuan manis media-sosial, youtube dan vimeo... hadeuuh... (lagi-lagi ngeles)

Hari ini, aku coba "bangkit dan berdiri".... kayaknya salah yaa.... kalo berdiri kan berarti gak jadi nulis... tapi, gapapa lah.... kalo dibilang "duduk dan menunduk" kesannya malah kayak orang malas....

Ayo semangaaaat.... (mencoba menyemangati diri sendiri)

Selamat membaca... semoga bermanfaat...


Minggu, 21 Oktober 2012

Mini-4WD Bukan Mainan Anak-Anak

Beberapa minggu yang lalu diadakan kompetisi Mobil Mini-4WD di Depok Town Square. Mainan yang mulai populer tahun 1989 melalui film Dash Yonkuro itu ternyata masih mempunyai penggemar setia. Terbukti dari jumlah peserta kompetisi itu yang tidak sedikit. Sekeliling arena dipenuhi para peserta yang duduk di lantai. Mereka tidak hanya berdiam diri untuk menunggu giliran start, tetapi sedang sibuk mengutak-atik mobilnya. Peralatan yang dibawa pun jumlahnya tidak tanggung-tanggung. Setiap peserta rata-rata membawa dua sampai tiga tool-box besar. Bahkan selain melengkapi kotak-alatnya dengan lampu ada beberapa peserta yang melengkapi box-nya dengan audio system, sehingga bisa mendengarkan musik sembari utak-atik mini-4wd. Kesibukan mereka tampak seru sekali. Di satu sudut ada yang menyamakan ketebalan roda dengan sigmat. Di sudut lain ada yang memperbaiki sayap-sayap mobilnya agar bisa seimbang ketika melewati "jumpingan".  Ternyata mereka tidak hanya melakukan satu kali start saja, tetapi berulang-kali hingga settingannya tepat dan berhasil finish.

Mini 4WD bukan mainan anak-anak. Hal yang paling mengherankan adalah usia para peserta kompetisi. Mereka tidak lagi tergolong anak-anak, tetapi -- mungkin-- lebih pantas disebut usia dewasa. Sekilas yang terlihat, usia termuda seusia mahasiswa lah, mungkin 19-20 tahun an. Usia tertua, kurang tahu pasti, yang jelas terlihat ada sosok bapak-bapak yang sudah ubanan mengejar mobilnya yang terlempar dari lintasan. Ada anak-anak di sekitar lintasan, namun mereka hanya menonton atau menemani bapaknya yang sibuk berlomba.

Kompetisi yang digelar saat itu adalah kelas sloop.  Di kelas ini mobil mini-4wd tidak hanya dituntut kencang tetapi juga harus seimbang dan dapat melewati rintangan yang ada. Untuk mendapatkan kecepatan yang tinggi para peserta melakukan setting ulang alias mengoprek motor dinamo yang menjadi penggerak mini-4wd. Ada peserta yang membawa angkur (kumparan di dalam dinamo) lebih dari satu. Agar mini-4wd dapat mendarat seimbang setelah jumping, para racer melengkapinya dengan bumper, roller, serta aksesoris penunjang lainnya. Mungkin karena banyak hal teknis di dalam permainan ini sehingga tidak ada peserta yang usia anak--anak. 

Ketika mini-4wd populer tahun 1989 aku masih di Sekolah Dasar. Teringat waktu itu aku punya seri Manta-Ray dan Burning-Sun (mobil salah satu anggota Dash Yonkuro). Dulu Tamiya-nya gak dioprek sama sekali. Gak ada modal buat ngoprek. Sempat beli dinamo Mabuchi-motor, tetapi powernya mengecewakan. Sekarang, melihat mini-4wd racer bertanding rasanya gatal ingin ambil bagian juga di kompetisinya.













Photo by Verry Aryo using NIKON D90; Tamron 17-50 f/2,8; NIKON 70-300G f/4-5,6

Sabtu, 13 Agustus 2011

Sumba Timur dan Kain Tenun Ikat

Pertama kali landing di bandara Umbu Mehang Kunda, Waingapu, terasa ada yang beda pada landas pacu bandara ini. Landas pacunya agak bergelombang. Lumayan memberi sensasi ketegangan tersendiri. Turun dari pesawat kita langsung disambut warga yang menonton adegan pesawat landing. Bandaranya memang berbeda dengan bandara di Jakarta yang areanya steril dan butuh ijin khusus untuk bisa menyaksikan pesawat yang mondar-mandir. Warga bisa dengan mudah menyaksikan pesawat yang datang dan pergi karena landas pacu hanya dibatasi pagar baja BRC setinggi satu-setengah meter.

Keluar dari ruang pesawat langsung terasa hawa panas Sumba Timur. Sepertinya matahari ada sembilan disini. Para penumpang berduyun-duyun menuju terminal kedatangan. Terminal kedatangan langsung penuh sesak oleh penumpang pesawat yang hendak meng tidak hanya dihuni oleh penumpang saja, tapi ada juga penjemput dan travel agent yang sudah bersiap membantu mengangkut barang keluarga atu tamunya. ambil bagasi. Ruang baggage claim yang tidak terlalu besar itu pun menjadi pengap. Di kejauhan tampak para petugas sedang menurunkan barang dari pesawat. Namun tidak tampak satupun kendaraan penarik kereta angkut bagasi. Ternyata kereta-kereta itu didorong saja oleh petugas. Sistem yang efisien, hehehe. Conveyor hanya ada satu, langsung dikerumuni penumpang. Jumlah trolley pun terbatas. Apabila barang yang dibawa jumlahnya banyak atau besar bisa meminta bantuan kepada porter.


BANDARA UMBU MEHANG KUNDA, WAINGAPU
WARGA MENYAKSIKAN PESAWAT LANDING
MELIHAT PESAWAT

Lepas dari bandara menuju ibukota Sumba Timur, yaitu Waingapu. Perjalanannya tidak lama, sekitar 15 menit saja. Kota yang kecil ramah. Tidak ada kemacetan seperti di Jakarta. Pengendara tidak perlu stress karena jalanan macet. Tetapi pengendara mobil harus siap dikejutkan oleh pengendara motor yang ngebut. Mungkin karena jalanan tidak macet sehingga pengendara motor menjadi leluasa untuk memacu motornya. Beberapa orang kadang jadi sembrono. Makanya setiap sore Polisi disebar di tiap persimpangan. Waingapu agak ramai pada sore hingga petang sebab warga banyak yang keluar rumah untuk sekedar jalan-jalan atau belanja makanan.

Tidak ada mall di Waingapu. Pusat perbelanjaan bagi warga hanyalah berupa pasar tradisional dan toko-toko yang tersebar di sepanjang jalan. Karena tidak ada tempat hiburan maka warga biasanya berkumpul di taman kota. Mereka bercengkerama sambil menikmati berbagai penganan yang dijual pedagang kaki-lima. Bagi pecinta mall akan menjadi siksaan kecil untuk berada di Waingapu. Lain cerita bagi pecinta fotografi traveling, pasar tradisional dengan kekhasan barang dagangannya dapat menjadi objek foto yang menarik. Namun ada satu catatan penting, cetak foto di Waingapu sangat mahal. Harga cetak foto untuk satu lembar foto 4R menggunakan printer -- bukan mesin cetak photo-lab -- adalah 7500 rupiah. Fantastis bukan?

SUDUT KOTA WAINGAPU
TAMAN KOTA
GEREJA KATOLIK
PATUNG JESUS
MASJID
BUAH SIRIH DAN BIJI PINANG
PASAR IKAN

Sayang kalau meninggalkan Sumba Timur tanpa membawa buah tangan. Satu kerajinan yang menjadi andalan Sumba Timur adalah kain tenun ikat. Kain dengan corak dan desain khas sumba timur yang  cantik. Pola yang terlukis biasanya mengandung cerita atau sejarah. Harganya memang tidak murah. selembar selendang saja dihargai 350 ribu rupiah. Harga ini sesuai dengan tingkat kerumitan pembuatannya. Benang yang digunakan berbahan murni kapas dan dipintal secara manual sehingga menjadi benang yang punya jalinan kuat, tebal serta bertekstur. Benang yang sudah dipintal lalu disusun dan dibentang pada dua batang bambu.

Tahapan berikutnya adalah proses pewarnaan. Sebelum dicelup warna ditentukan dulu pola gambarnya. Dari pola itulah tampak warna yang paling gelap sampai yang paling terang. Agar terwarnai pada satu warna saja maka bagian benang yang dikehendaki untuk tidak terwarnai harus ditutup dulu. Benang ditutup dengan cara dililit dengan daun kalita. Daun dari pohon sejenis palem ini pun tidak mudah mendapatkannya karena hanya ada di padang gurun Kambera. Proses pencelupan warnanya memakan waktu yang cukup lama, yaitu tiga bulan untuk satu warna. Bahan perwarna yang digunakan adalah bahan pewarna alami, misalnya buah dan daun mengkudu. Pewarnaan diawali dari warna yang paling gelap. Setelah satu warna, lilitan dibuka pada pola warna berikutnya. Harus berurutan dari paling gelap sampai paling terang, karena warna gelap tidak terlalu terpengaruh warna yang lebih terang.

Selesai pewarnaan barulah kain ditenun agar menjadi lembaran kain yang cantik. Total waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu lembar kain bisa samai satu setengah tahun. Rumitnya proses pembuatan itu senilai dengan harga jual yang ditawarkan. Jika membeli dari pengrajin, wisatawan dapat merasakan pengalaman menarik yaitu menyaksikan dan mencoba mempraktekkan proses pembuatannya.

Kain tenun ikat bagi masyarkat Sumbaa Timur bukan hanya sekedar penghias tubuh. Kain itu juga menjadi bahan yang wajib dipakai setiap upacara adat. Selain itu juga menjadi identitas strata sosial dan gengsi bagi pemakainya.

MACAM POLA KAIN TENUN IKAT
PEDAGANG KAIN TENUN IKAT
BAHAN PEWARNA KAIN
BUAH MENGKUDU KERING
DAUN MENGKUDU
BENANG YANG SUDAH DILILIT
LILITAN DAUN KALITA
DAUN KALITA
BENANG SELESAI DIWARNA
SUDAH DIWARNA
DITENUN
PERAJIN TENUN IKAT
THE END....
Semoga bermanfaat... Amien









Senin, 08 Agustus 2011

PULAU SALURA

PETA SALURA (by google map)

Prasasti Wilayah Perbatasan

Pulau Salura, Menggudu dan Kotak

Sunset di pantai Salura

Pulau Salura adalah salah satu pulau terluar Indonesia. Berada di wilayah propinsi Nusa Tenggara Timur, tepatnya di kecamatan Karera, kabupaten Sumba Timur. Pulau Salura termasuk dalam satu pemerintahan desa, yaitu desa Praisalura. Desa itu mencakup juga dua pulau di dekatnya, yaitu pulau Menggudu dan pulau Kotak. Dengan demikian desa ini berbatasan langsung dengan Samudra Hindia dan wilayah laut Australia di sisi sebelah selatan. Dari ketiga pulau yg masuk wilayah desa Praisalura, hanya pulau Salura saja yg dihuni. Terdapat 26 kepala keluarga (KK) atau sekitar 658 jiwa yang tinggal di pulau tersebut. Meski tercatat bahwa kabupaten Sumba Timur mayoritas agama warganya adalah Protestan namun penduduk pulau Salura seluruhnya memeluk agama Islam. Mata pencaharian warga adalah nelayan. Hasil laut yang paling besar adalah cumi-cumi. Hal itu juga yang menarik warga dari Lombok untuk tinggal dan mencari ikan di Salura. Muncul simbiosis mutualisme antara warga Salura dan nelayan Lombok. Selama ini warga Salura kesulitan menjual hasil lautnya. Namun dengan hadirnya nelayan Lombok, yang sebagian diantaranya juga tengkulak, maka warga Salura dapat mudah menjual hasil tangkapannya. Warga Salura pernah melewati masa jaya ketika rumput laut berhasil berkembang biak dengan baik di Salura. Namun beberapa tahun yang lalu serangan hama rumput laut sangat kuat dan seringkali dimakan penyu maka usaha pertanian rumput laut itupun berhenti.

Perjalanan menuju pulau Salura membutuhkan waktu sekitar 6 jam dari kota Waingapu, ibukota Sumba Timur. Waktu tempuh itu terdiri dari 5 jam perjalanan darat dan 1 jam perjalanan menyeberang laut. Ada dua pilihan untuk perjalanan darat, sewa mobil sendiri atau naik angkutan umum berupa truk yang memuat barang dan manusia. Sewa mobil untuk mengantar sampai Katundu, desa terakhir sebelum menyeberang, butuh biaya sekitar 1 juta rupiah untuk sekali perjalanan. Pilihan lainnya hanya membutuhkan biaya 50 ribu rupiah untuk satu kali perjalanan. Tetapi kita harus siap duduk berdesakan dan berkumpul bersama muatan barang. Karena kendaraannya lebih besar dengan muatan yang lebih berat maka waktu tempuh juga menjadi semakin lama, sekitar 8 jam.

Perjalanan daratnya melewati perbukitan yang jalannya berkelok-kelok dan terjal. Aspalnya banyak yang sudah mengelupas di sana-sini. Pengemudi harus ekstra hati-hati melewatinya. Jika menggunakan mobil sewa akan lebih nyaman karena, selain tidak perlu berhimpitan, kita juga bisa sewaktu-waktu berhenti. Hal ini menjadi istimewa karena view sepanjang perjalanan sangatlah indah. Hamparan perbukitan serta hijau segar dapat menjadi obat penyegar mata yang jenuh dengan pohon-pohon beton di perkotaan. Pemandangan itu menarik pula untuk diabadikan dalam sebuah foto landscape atau juga menjadi background foto portrait yang cantik. Selain perrbukitan perjalanan juga akan melewati permukiman warga dengan bentuk arsitektur yang khas. Berhenti sejenak dan bercengkerama serta berfoto dengan warga akan menjadi kenang-kenangan berharga. Satu lagi yang  sangat menarik adalah kubur batu gaya megalitikum. Yaitu makam yang dibuat dari batu besar serta diberi atap batu besar pula dan disangga oleh pilar yang juga terbuat dari batu. Kubur batu ini jarang ditemui di daerah lain di Indonesia. Bentuk ada yg polos tanpa ukiran namun ada pula yang dihiasi patung dan ukiran. Kubur batu ini jarang ditemui di daerah lain di Indonesia.

Sampai di Katundu kita harus turun dari mobil dan berganti kapal. Biaya menyeberang dari Katundu ke Salura ada dua pilihan. Jika kita datang pada hari Selasa kita bisa lebih murah. Sebab Selasa adalah hari pasar bagi warga Salura sehingga banyak warga Salura berbelanja kebutuhan pokok di Katundu. Kita cukup membayar 10 ribu rupiah saja untuk menyeberang. Namun apabila kita menyeberang di hari lainnya maka harus sewa kapal sendiri. Biaya sewa kapal kayu ukuran lebar 3 meter, ukuran kapal terbesar disitu, sekitar 250 ribu rupiah untuk satu kali perjalanan pulang-pergi. Kapal berangkat dari pulau Salura, jadi harus membuat janji terlebih dahulu sebelum melakukan perjalanan. Waktu paling tepat untuk menyeberang ke Salura adalah antara jam 07.00 wita sampai dengan jam 09.00 wita, sebab kondisi laut cukup tenang di jam-jam itu. Catatan penting, penyeberangan tidak bisa dilakukan pada bulan-bulan gelombang laut tinggi, yaitu Oktober - Desember.

Masalah gelombang laut menjadi masalah juga bagi pelayanan kesehatan warga Salura. Tidak ada puskesmas pembantu ataupun perawat kesehatan yang bertugas di Salura. Untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, warga Salura harus datang ke puskesmas yang berada di ibukota kecamatan Karera,  yaitu desa Nggongi. Warga harus menyeberang laut dan ditambah perjalanan darat sekitar 30 menit. Pada bulan-bulan gelombang tinggi warga yang sakit tidak bisa dibawa ke puskesmas sehingga warga terpaksa berobat pada dukun setempat. Biaya menyeberang yang mahal juga menjadi salah satu pertimbangan warga untuk tidak berobat ke puskesmas.

Petugas kesehatan hanya melakukan kunjungan sekali dalam sebulan, itupun apabila ada petugas yang bersedia dan gelombang tenang. Petugas seringkali tidak datang meski kepala desa sudah menawarkan untuk menjemput dengan kapal miliknya. Begitu pula masalah penanganan ibu hamil. Warga Salura bergantung dari kemampuan dukun bayi yang mendapatkan ilmunya secara turun temurun dari orang tuanya. Pada kasus-kasus sulit seringkali bayi maupun ibunya tidak tertolong. Apabila masih ada kesempatan membawa ke puskesmas, ibu hamil dilarikan dengan menaiki sampan bermesin tempel saja untuk menyiasati biaya menyeberang yang mahal.

Akibat teriakan kuat warga Salura di beberapa media elektronik, pemerintah menjadi gerah. Pemerintah menjanjikan akan mendirikan puskesmas pembantu dan menugaskan perawat di pulau Salura. Semoga benar....

Sebagai lokasi yang ditetapkan sebagai wilayah perbatasan, pulau Salura juga dijaga oleh polisi perbatasan. Namun demikian keberadaan personil polisi ini tidak didukung alat-alat yang memadai. Hanya ada senapan tua dan usang untuk menghalau pelintas batas. Tidak ada perahu atau speed-boat untuk mengejar penyusup. Apabila ada kapal yang melintas perbatasan, polisi terpaksa mendatanginya dengan sampan milik nelayan. Hihihihiii..... ditabrak aja hancur....

Alam Salura sangat cantik. Suasana desa yang tenang, warga yang ramah, pasir putih dan air laut yang jernih menawarkan hiburan segar bagi jiwa-jiwa yang bosan dengan hiruk pikuk kota. Berenang di laut bersama anak-anak Salura atau hunting foto bisa jadi kegiatan menarik di Salura.

Selamat menikmati pulau Salura.....
Salam....



Lembah Hijau dan Perbukitan

Kubur Batu

Menyeberang dengan kapal kayu

Masjid Tua

Bermain Pasir

Huaaaa...

Kunjungan Tim Kesehatan Pusekesmas Nggongi

Menjahit Jala

Jala Cumi-cumi

Siswa SD Inpres Salura

Berbagi Minuman

Bermain

Bersiap Melaut

Pantai dan Perahu

Sunrise

Sunset